Lelaki penjual koran dengan satu lengan
sudah menceritakan semua. Sehingga tak ada yang perlu menanyakan siapa
namanya. Atau alamatnya, karena dia bisa dilihat di perempatan jalan,
saat lampu merah.
Sebenarnya bukan perempatan jalan dalam arti sebenarnya. Karena
jalanan itu tidak lurus, sedikit melengkung, menikung, sehingga lampu
merah atau hijau bisa membuat bingung untuk pengendara dari arah mana.
Juga tak ada yang bertanya kenapa tangannya buntung. Wajahnya tidak
murung. Malah mengesankan beruntung memperoleh sinar matahari dari masih
sangat pagi hingga lewat tengah hari. Yang tidak membuatnya lebih
hitam, dan dikenali karena bau tubuhnya yang diteruskan angin yang
lelah, yang kalah oleh asap apa saja.
Karena dianggap sudah terceritakan semua, tak ada yang bertanya
apakah dia punya keluarga, atau pernah berkeluarga, atau istrinya dua.
Yang agak diketahui tetangga, pernah ada gadis masih sangat muda tinggal
di kontrakannya. Gadis belia itu pembantu rumah tangga keluarga kaya,
yang rumahnya sering dilewati penjual koran yang meminjami majalah atau
tabloid. Umurnya sekitar 15 tahun, senyumnya—atau matanya—anggun, hanya
agak malu-malu karena seakan memiliki jakun. Gadis itu datang ke
kontrakannya dan mengatakan akan tinggal selama seminggu. Pembantu lain
dapat liburan Lebaran, tapi gadis yang alisnya tebal dengan suara kental
tak punya rumah tinggal. Lelaki penjual koran itu menasihati, sebaiknya
mereka menikah saja. Gadis itu mau, dan meyakini bahwa dengan tangan
satu, lelaki itu mampu merayu. Lelaki itu juga memberi saran, sementara
gadis bertubuh sintal itu bekerja sebagai pembantu interval yang sangat
dibutuhkan. Lumayan dapat duit tambahan, dan siapa tahu ketemu majikan
yang khilaf. Dari koran pula didapat alamat, dan sejak pergi ke sana,
tak pernah kembali lagi. Lelaki itu juga tidak mencari, tidak merasa
rugi, meskipun kadang ingat saat mandi bersama.
Lelaki itu lebih suka bercerita bahwa adakalanya tangannya menjadi
berat, kalau banyak koran menambah halaman, tapi tidak menambah harga.
Atau malah diberi jaket bagus bertuliskan nama media, karena biasanya
lengan panjang dan menambah panas. Paling senang kalau dagangannya
diborong oleh pembeli dadakan karena tidak ingin majalah beredar.
Harganya bisa mahal, tapi itu jarang. Dia mengambil dagangan sesuai
kemampuan menjual, bukan konsinyasi. Kalau tak laku, itu tanggung
jawabnya. Kalau siang, temannya menjual seribu rupiah, tapi dia tetap
mempertahankan. Kata-katanya sedikit mengherankan. ”Saya tak tega. Walau
sudah siang, rasanya beritanya tidak harus menjadi murah.” Ia
mengatakan dengan wajah tetap ramah, tidak marah, tidak juga gelisah.
Entah kenapa tampilannya tidak terlihat resah, dan tidak pernah
menyalahkan. Bahkan ketika perempatan jalan tempatnya bekerja menjadi
bubrah lantaran di atasnya akan dibangun jembatan layang, dia sama
sekali tidak gundah. Langkahnya tetap gagah meloncati batu atau semen
berbongkah, dengan wajah tetap tengadah ke jendela mobil mewah atau
biasa. Semangatnya sama sekali tidak goyah. Malah memberi khotbah pemuda
yang baru pulang kuliah. Katanya, ”Yang menjadi korban jalan layang
adalah para pengasong. Bahkan kalau di jalan layang itu ada kemacetan,
kita tetap tak boleh jualan di situ.” Segala apa dihadapi dengan tabah.
Sewaktu listrik di rumah kontrakannya sering mati mendadak, ia tidak
berteriak atau memaki. Ia bahkan memuji petugas listrik yang baik hati.
”Baik hati kepada nyamuk. Dengan matinya aliran listrik, nyamuk yang
tak bisa masuk kamar berpendingin kini punya kesempatan. Dengan lampu
penerangan yang gelap, nyamuk lebih meluasa menyergap.” Kalau tetangga
kontrakan mengomel soal laporan listrik padam yang ditanya segala apa
sehingga menjengkelkan, ia menasihati: ”Semua laporan pelayanan sosial
dibuat tidak menyenangkan. Tujuannya agar kalian tidak perlu melapor,
membuang pulsa, dan menjadi sakit hati.” Intinya: ”Para petugas sudah
akan memperbaiki tanpa adanya laporan.”
Lelaki berlengan satu itu menyukai pekerjaannya, melakukan tanpa
menggerutu. Bahkan tak tergoda menjadi pengemis seperti perempuan yang
menutupi sebagian wajahnya dengan selendang biru. Yang pendapatannya
jauh lebih besar, tanpa perlu mengambil dagangan dan menyetorkan
penghasilan, seperti dirinya. Perempuan yang menengadahkan tangannya dan
memamerkan wajah pilu itu mendapatkan penghasilan dari rasa iba
sekurangnya setiap sepuluh mobil yang dilalui. Satu kali pemberian bisa
seharga koran yang dijualnya. Yang diterima secara utuh. ”Kamu lebih
beralasan mengemis karena tanganmu satu.” Tapi ia tak melakukan itu.
Juga tidak ketika beberapa ibu-ibu yang lain, berjajar menjadi joki 3 in 1.Padahal, sekali diajak, pendapatannya cukup besar dibandingkan dengan dirinya.
”Tak apa. Selama masih ada orang membeli koran di jalanan, saya masih
akan jualan.” Kalau ada yang mulai dikeluhkan terutama karena sinar
matahari makin terik, dan pantulan pada aspal semakin keras menusuk
matanya. Sehingga kadang membuat agak kabur, mengernyitkan jidat dan
hati-hati. Juga kalau hujan menderas, ia berteduh dan mengutamakan koran
dagangannya, bukan hanya tubuhnya. Selebihnya biasa-biasa saja, dan ia
menyukai semuanya: panas, hujan atau biasa.
Selalu di jalan yang sama, pada saat-saat tertentu yang sama, ia
mengenali, ia hafal para pengguna jalan. Baik yang selalu tergesa atau
yang tidak tiap hari melalui jalan itu. Baik yang berpasangan atau yang
sambil mencukur kumis, atau sibuk berteleponan, atau yang tidur lelap.
Baik yang menggunakan mobil pribadi—yang kemudian berganti lebih baru,
atau berdiri di pintu mobil angkutan seolah siap turun. Semua menarik
diamati, tetapi ada satu yang memikat. Seorang perempuan—ia yakin itu
perempuan walau tubuhnya ditutup jaket dan helm, dengan sepeda motor
warna merah. Karena selalu berhenti di dekat lampu merah. Lama. Matanya
menatap sekitar—walau tersembunyi di balik helm. Tadinya ia mengira
perempuan itu menunggu kesempatan untuk melintas saat jalanan sepi, atau
ada lampu hijau. Tapi karena lama, ia ingin tahu apa yang dilakukan
perempuan bersepeda motor itu. Baru kemudian ia tahu perempuan itu
menunggu sesuatu. Baru setelah sesuatu itu dilihat atau diketahui,
perempuan itu berlalu. Sesuatu yang ditunggu itu, menurutnya kendaraan
lain yang melintas. Jadi setelah melihat kendaraan yang ditunggu
terlintas, perempuan itu meneruskan perjalanan. Ia kemudian tahu bahwa
yang ditunggu adalah mobil warna silver yang keluar dari salah satu
perempatan. Mungkin sekali perempuan itu kekasih pemakai mobil, mungkin
apanya begitu, mungkin kesetiaan yang langka, mungkin lebih dari
semuanya.
Lelaki penjual koran sesekali ingin memberi tahu apakah mobil silver
itu sudah lewat atau belum. Tapi ia tak ingin campur tangan, dan hampir
selalu perempuan itu tiba lebih dulu. Jadinya ia menikmati saja, seolah
tak tahu apa-apa, tapi terasakan tungguan kerinduan itu. Lelaki itu
ikut merasa bahagia, menelan ludahnya, berusaha tersenyum kepadanya. Tak
ada jawaban, karena kalaupun ada juga tak terlihat tak tersirat karena
helm menutup rapat.
Ketika koran-koran terbit di hari libur nasional, ia tidak
menjajakan. Mungkin sekali karena perempuan berhelm itu tidak akan
muncul. Ia bisa merasakan menunggu perempuan itu, sama dengan yang
dirasakan perempuan. Mungkin juga sama: perempuan itu tak tahu ditunggu
olehnya, atau pengemudi mobil silver itu ditunggui perempuan berhelm.
Padahal pada hari libur ia tak ke mana-mana. Di kamar kontrakannya,
membacai koran lama yang tak terjual, yang disusun bertumpuk urutan
tanggal terbit. Pernah ada yang datang mencari terbitan tanggal berapa,
ia senang kalau bisa memberikan. Dan menolak dibayar lebih mahal.
”Menjadi sangat berguna tidak selalu harus menjadi lebih mahal.” Ia
betah di rumah—atau kamar kontrakan, yang sudah dihuni belasan tahun,
yang uang sewanya dibayar setiap bulan, yang tetangga kiri kanan berubah
dan berganti, yang penagihnya berganti, yang uang sewanya bertambah,
yang udaranya makin gerah.
Pernah, lelaki berlengan satu itu berjalan menyusuri jalanan di mana
perempuan bermotor itu muncul. Menelusuri jalanan, memandangi kira-kira
dari sebelah mana, bagian mana perempuan itu mengontrak. Siapa
keluarganya, berapa nilai kontraknya, atau umurnya, atau seperti apa
wajahnya. Tapi usaha itu tak diteruskan, karena merasa itu tak
mengurangi rasa ingin tahunya, dan tidak mengurangi kagum pada kesetiaan
perempuan itu. Sebagai penjual koran ia terbiasa dengan
potongan-potongan kehidupan yang berdiri sendiri, tak selalu berhubungan
satu dengan yang lain. Seperti juga anak gadis yang pernah menginap di
kamar kontrakannya yang tak harus ada lanjutan kisahnya sekarang di mana
dan sebagai apa, atau masih ingatkah padanya. Seperti juga perempuan
berjaket ketat rapat apa benar menunggui siapa dan apa hubungannya.
Berita yang dibaca dalam koran dan majalah yang dijajakan adalah
potongan yang berdiri sendiri. Yang heboh hari ini, roboh sendiri hari
berikutnya—atau minggu berikutnya. Yang ceroboh hari ini, atau melakukan
tindakan bodoh, yang tergopoh diberitakan, terlupakan kemudian. Ia
terbiasa membaca begitu di halaman satu, dan merasa tak terlalu perlu
melanjutkan di halaman sambungan. Ia melihat iklan-iklan gede, dan
melupakan bahwa jalanan tempatnya bekerja tak kunjung selesai
pembuatannya. Kalau pun kemudian merasa satu dan hal lain berhubungan,
karena ia menghubung-hubungkan, seperti perempuan bersepeda motor
menunggui mobil silver lewat. Apa benar begitu, ia juga tak tahu persis.
Namun ia cukup puas dengan apa yang diperkirakan, dan merasa menemukan
jawaban. Seperti juga mereka yang melihatnya, mengenali, dan memperoleh
jawaban kenapa lengannya satu, kenapa panas matahari kian menyakitkan
mata, dan dagangan yang dibawanya makin tebal, makin berat. Semua ini
membuat bahagia, sehingga kemudian ia mengajak tetangga sebelah pintu
untuk menggantikan berjualan di lampu merah. ”Saya makin tua, tapi
perempatan itu tetap muda. Masih selalu ada pembeli di sana. Dan mereka
tidak bertanya kenapa bukan saya yang berjualan.”
Lelaki satu lengan itu masih di perempatan. Kali ini ia memperhatikan
dan cemas, kalau-kalau perempuan bermotor itu tak terlihat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar